Minggu, 11 September 2011

MEMILIH-MILIH SEDEKAH

MEMILIH-MILIH SEDEKAH
Oleh Holifatul Fitri

Jam menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh menit, alarm berbunyi begitu keras dari jam beker yang berada di atas lemari sebelah kasur.
“Aduuuh jam berapa ini, aku terlambat kuliah lagi.... Ya ampuuun...,” dengan setengah sadar berjalan ke kamar mandi dengan terkantuk-kantuk.
“Pagi Gea, kuliah jam berapa hari ini?” sapa mama pada Gea. “Kamu terlambat lagi?”
Gea melirik pada mama seraya tersenyum. Mama seakan mengerti isyarat putri kesayangannya itu. Gea yang hampir setiap hari selalu bangun kesiangan dan terlambat kuliah pagi walaupun telah diingatkan berkali-kali oleh mama.
“Sudah berapa kali mama bilang, Gea harus berusaha bangun pagi. Memangnya Gea selalu tidur jam berapa? Kenapa bangunnya selalu kesiangan?”
“Gea semalam mengerjakan tugas ma sampai larut malam. Gea gak tau kenapa, Gea selalu gak bisa tidur kalo belum larut malam ma...” mengambil roti lalu melapisi dengan selai coklat kesukaannya.
“Gea kan bisa mengisi dengan hal-hal yang bermanfaat seperti membaca buku? Tugas kuliah kan tidak tiap hari ada sayang.....”
“Iya ma...” meraih tas punggungnya lalu menjabat tangan mama. “Gea berangkat ma, Assalamualaikum....”
“Waalaikumsalam..... Hati-hati sayang, jangan kebut-kebutan di jalan. ”Mama kembali mengingatkan Gea. Gea memberi senyuman manisnya pada sang mama, lalu berlalu. Terdengar suara motor meninggalkan halaman rumah. Suasana pun menjadi sunyi.
Gea segera berlari menuju ruang kelasnya hari itu. Dari luar terlihat dosennya Pak Wahyu sedang mengajar. Gea sadar ia terlambat setengah jam, Pak Wahyu pasti akan mengusirnya jika ia nekat masuk untuk mengikuti kuliah. Akhirnya Gea menunggu kuliah selanjutnya di luar, duduk di depan kelas menunggu teman-temannya keluar kelas.
Beberapa saat kemudian dari belakang seseorang menghampiri Gea. Seseorang yang spesial bagi Gea, orang yang selalu ada untuk Gea. Orang yang menemani Gea saat Gea sedih maupun bahagia. Maya, sahabat Gea muncul dengan penuh senyum bahagia menghiasi wajah cantiknya.
“Telat lagi?” Gea tersipu malu sambil menganggukkan kepalanya. “Seperti gak kenal aku saja kamu... Kamu kan tau aku paling susah bangun pagi.” Menggaruk-garuk kepala. “Iya aku tau, tapi kamu seharusnya berusaha dong biar bangun pagi. Nyalain alarm kan bisa Gie...” memencet-mencet tombol handphone sambil sesekali memperhatikan Gea. “Yuk, ke kelas selanjutnya.” Gea meraih tangan Maya lalu berjalan bersama menuju kelas berikutnya.
Dalam perjalanan tiba-tiba ada seorang pengemis mendekati Gea dan Maya sembari menjulurkan kedua tangannya. “Mbak, sedekahnya mbak....” kata orang itu. Dengan memelas orang itu meminta sedekah pada Gea dan Maya. Gea hanya melipat kedua tangannya seraya berkata maaf. Lalu Maya menjulurkan selembar uang kertas dua ribuan kepada pengemis itu. Gea mengernyitkan wajah melihat sahabatnya melakukan hal itu. Beberapa saat kemudian setelah pengemis itu pergi Gea menegur Maya. “Kok kamu kasih sih? Orang itu kan belum tentu pengemis beneran, bisa aja tu orang cuma pura-pura jadi pengemis padahal dia sebenarnya orang yang mampu. Jaman sekarang mengemis dijadikan pekerjaan.”
“Gea... belum tentu juga kan orang itu berpura-pura, siapa tahu dia benar-benar gak mampu.” Maya menatap Gea sambil tersenyum. “Iya itu kalo bener, kalo enggak? Ah, sudahlah....” Gea merasa malas untuk berdebat dengan sahabatnya, ia memilih meneruskan perjalanan mereka menuju kelas. Gea mengingat sesuatu mengenai pengemis yang membuat Gea menjadi ilfil pada mereka. Saat itu Gea hendak pulang kuliah, motornya sedang diperbaiki di bengkel karena mengalami kerusakan sehingga mau tidak mau Gea harus naik angkot. Ketika di dalam angkot Gea melihat seseorang yang tidak asing. Orang itu adalah pengemis yang biasanya berada di sekitar sekolah adiknya, Valen. Namun bedanya ketika itu si pengemis tersebut berpakaian begitu rapi, dengan baju bagus, dan tak sedikit pun menampakkan bahwa ia seorang pengemis. Gea bertambah kaget ketika si pengemis mengeluarkan sebuah handphone yang tak kalah canggih dari yang Gea miliki dan bertelepon ria di dalam angkot. Semenjak itulah pemikiran Gea mengenai pengemis berubah seratus delapan puluh derajat. Ia merasa tertipu oleh pengemis gadungan dan beranggapan bahwa semua pengemis seperti orang itu.
Perkuliahan berakhir, Gea segera berkemas untuk pulang.
“Maya, kamu mau pulang bareng aku apa nggak? Apa masih mau ke perpus lagi?”
“Ya udah aku bareng kamu Gie, tadi aku udah ke perpus dan udah dapat buku penunjang mata kuliah Pak Wahyu. Jadi sekarang tinggal pulang....” Maya tersenyum pada Gea sembari mengemasi buku-bukunya. “kamu kan emang kutu buku May. Hehehe....” Gea meledek Maya sambil tertawa.
Perjalanan pulang begitu terasa menyengsarakan bagi Gea. Udara siang hari yang panas, kepala serasa terbakar, belum lagi jalanan yang macet. Gea mengernyitkan wajah dan menggerutu tak jelas apa yang yang dikatakannya. Tiba-tiba Gea mengerem motornya secara mendadak dan braaakkkkkk..... Gea dan Maya terjatuh dari motor. Gea tak sadarkan diri, dan saat ia terbangun ia tak mengenali tempat ia berada.
“Ugghh.... Kepalaku pusing sekali.” Gea mengamati sekitarnya, ia masih merasa bingung dimana kini ia berada. Tempat yang sangat jelek, dan kotor. Ia melihat Maya sedang duduk dan berbincang-bincang dengan seseorang, lalu Gea menghampirinya.
“May, kita dimana sih? Bapak ini siapa?” tanya Gea yang masih kebingungan. “Kita tadi jatuh Gie, dan kamu pingsan, lalu kebetulan ada Bapak ini sedang mengumpulkan barang-barang bekas melihat dan menolong kita. Ini rumah Bapak ini.”
Gea menoleh pada orang yang Maya katakan, lalu Gea mengingat sesuatu. Orang itu ternyata adalah orang yang biasanya setiap minggu oleh mamanya diberi botol-botol bekas yang tak terpakai. Ya, bapak itu adalah seorang pemulung yang sering mencari barang-barang bekas di sekitar kompleks rumah Gea. Kemudian seorang perempuan keluar dari dapur membawa dua gelas air minum. Gea kembali mengingat, dan wanita itu ternyata orang yang tadi Maya beri sedekah. Gea tertunduk malu dan mengucapkan terima kasih pada kedua orang itu karena telah menolongnya dan juga sahabatnya. Gea sadar, tak semua pengemis atau orang miskin itu menipu. Tak seharusnya Gea memilih-milih untuk bersedekah, itu hanya akan mengurangi pahalanya. Semenjak itu Gea tak lagi enggan untuk bersedekah pada orang, serta tak lagi pilih-pilih orang yang akan diberinya sedekah.